Oleh : Nur Laili
Ekonomi Islam Fakultas Agama Islam Yudharta Pasuruan
Ekonomi Islam Fakultas Agama Islam Yudharta Pasuruan
Tantangan Bank Syariah di Indonesia Kini
Tiga puluh tahun silam,
bank syariah sama sekali belum dikenal. Kini sistem perbankan dan
keuangan Islam telah beroperasi di lebih dari 55 negara yang pasarnya
sedang bangkit dan berkembang. Bahkan beberapa lembaga keuangan Islam
beroperasi di 13 lokasi lain, yaitu Australia, Bahama, Kanada, Kepulauan
Cayman, Denmark, Guernsey, Jersey, Irlandia, Luxemburg, Swiss, Inggris,
Amerika Serikat, dan Kepulauan Virginia (Algoud dan Lewis, 2001). Di
Pakistan, Iran, dan Sudan semua bank harus beroperasi sesuai dengan
prinsip keuangan Islam.
Bagaimana di Indonesia? Di
Indonesia, bank syariah beroperasi berdampingan dengan bank
konvensional meski dengan skala yang sangat terbatas. Di Indonesia telah
berdiri berbagai lembaga keuangan syariah yang terdiri dari 6 Bank Umum
Syariah (BUS), 25 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 139 BPR Syariah (Islamic Banking Statistic Bank Indonesia November 2009)
Lalu pertanyaannya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia?
Yang pertama adalah
kurangnya SDM di bidang syariah. Bahkan, Deputi Gubernur Bank Indonesia
(BI) Siti Chalimah Fadrijah sempat menyebutkan, salah satu kunci tumbuh
berkembangnya perbankan syariah adalah SDM. BI hingga kini terus
berupaya mendorong peningkatan SDM agar industri perbankan syariah dapat
berkembang lebih pesat. Lebih lanjut, Deputi Gubernur Bank Indonesia
Muliaman D Hadad mengatakan, saat ini bankir di perbankan syariah
mencapai sekitar 15.000 bankir. Namun, kebutuhan saat ini mencapai lebih
dari 20.000 bankir.
Yang kedua adalah
kurangnya komitmen SDM di perbankan syariah sendiri untuk turut serta
memajukan ekonomi Islam khususnya perbankan syariah. Contoh riil nya
adalah berapa banyak dalam satu kelas mata kuliah perbankan syariah
mahasiswa yang menjadi nasabah/memiliki rekening di bank syariah. Bahkan
konon menurut kesaksian salah satu pejabat Bank Indonesia, ketika para
petinggi Bank Indonesia direktorat syariah mendapat fasilitas soft loan untuk tunjangan keluarga (pendidikan, kesehatan dsb), mereka justru memilih soft loan dari bank konvensional, padahal mereka mempunyai pilihan untuk memilih pembiayaan dari bank syariah.
Yang ketiga, menurut anggota DPR RI dari Fraksi PKS Periode 2004-2009, Dr. Nursanita Nasution, ME, yaitu kurangnya pemahaman anggota DPR
seputar ekonomi syariah, sehingga membuat proses pembahasan Rancangan
Undang-Undang Perbankan Syariah berjalan lamban. Pembahasan sering kali
terjebak pada istilah-istilah perbankan syariah dan melupakan substansi
persoalan yang sifatnya lebih mendasar. ”RUU Perbankan Syariah sudah
mulai dibahas sejak tahun 2005 dan sampai sekarang belum selesai.
Sebenarnya tidak ada pertentangan ideologi dalam menyelesaikan peraturan
tersebut. Kelambanan lebih disebabkan ketidakpahaman anggota DPR
tentang konsep ekonomi Islam. Akibatnya, pembahasan selalu diwarnai
perdebatan yang tidak esensial”(http://nursanitanasution.blogspot.com/).
Terlebih dana dari Timur Tengah sedang membanjiri pasar modal
negara-negara Asia maupun Amerika. Jika kita memiliki undang-undang yang
mampu mengakomodasi kepentingan investor Timur-Tengah, tentunya negara
kita sendiri yang akan diuntungkan. Apalagi mayoritas penduduk kita juga
Muslim sehingga produk SBSN akan lebih mudah diterima.
Yang keempat, kurangnya
sosialisasi mengenai produk-produk perbankan syariah. Seharusnya Bank
Indonesia sebagai otoritas tertinggi perbankan di Indonesia melakukan
sosialisasi atau edukasi mengenai apa itu bank syariah dan
produk-produknya, agar masyarakat tidak terjebak pada pemikiran bahwa
perbankan syariah dan konvensional itu sama saja, hanya berbeda
sistemnya, atau bahwa bank syariah hanya untuk orang Islam saja. Satu
hal yang cukup menarik yaitu bahwa dana sosialisasi produk-produk bank
syariah ternyata lebih kecil jika dibandingkan dengan dana sosialisasi
untuk iklan pengenalan uang baru/iklan sosialisasi perbedaan uang asli
dan palsu.
Lalu hambatan yang
selanjttnya adalah masih adanya sistem perundangan yang kurang berpihak
pada nasabah syariah. Contohnya adalah pengenaan pajak berganda dalam
transaksi akad murabahah (jual-beli). Ketentuan PPN atas
murabahah menjadi polemik karena dalam PBI No. 6/17/2004, produk ini
merupakan pembiayaan perbankan berprinsip jual beli yang berada di
negative list (tak kena pajak). Namun, dalam praktiknya petugas Ditjen
Pajak tetap menagih PPN dengan mengacu SK Ditjen Pajak No. 243 dan
No.271 tanggal 4 September 2003, yang menetapkan murabahah menjadi
produk kena pajak. Pasalnya, ketentuan penghapusan itu belum disahkan
karena masuk dalam paket RUU.
Memang, perkembangan
perbankan syariah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata,
namun kita khususnya sebagai orang Muslim, yang menjadi mayoritas warga
negara Indonesia, sudah sepatutnya melaksanakan ajaran Islam secara kaffah atau secara menyeluruh, yaitu menjadikan ajaran sebagai the way of life,
sebagai jalan hidup, baik dalam beribadah maupun dalam bermuamalah
seperti dalam hidup bermasyarakat, berdagang (melakukan kegiatan
ekonomi), dan sebagainya, sehingga apa yang kita dengar selama lima kali
dalam satu hari melalui menara masjid dapat kita capai, yaitu ajakan
untuk mencapai falah (kesejahteraan umat) yang berbunyi hayya alal falaah.
Daftar Pustaka
2006. Hendra Kurniawan. http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/01/04/tantangan-bank-syariah-di-indonesia-kini-48215.html
No comments:
Post a Comment