Friday, December 7, 2012

Tantangan Bank Syariah di Indonesia

Oleh : Nur Laili
Ekonomi Islam Fakultas Agama Islam Yudharta Pasuruan

Tantangan Bank Syariah di Indonesia Kini


Tiga puluh tahun silam, bank syariah sama sekali belum dikenal. Kini sistem perbankan dan keuangan Islam telah beroperasi di lebih dari 55 negara yang pasarnya sedang bangkit dan berkembang. Bahkan beberapa lembaga keuangan Islam beroperasi di 13 lokasi lain, yaitu Australia, Bahama, Kanada, Kepulauan Cayman, Denmark, Guernsey, Jersey, Irlandia, Luxemburg, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Kepulauan Virginia (Algoud dan Lewis, 2001). Di Pakistan, Iran, dan Sudan semua bank harus beroperasi sesuai dengan prinsip keuangan Islam.
Bagaimana di Indonesia? Di Indonesia, bank syariah beroperasi berdampingan dengan bank konvensional meski dengan skala yang sangat terbatas. Di Indonesia telah berdiri berbagai lembaga keuangan syariah yang terdiri dari 6 Bank Umum Syariah (BUS), 25 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 139 BPR Syariah (Islamic Banking Statistic Bank Indonesia November 2009)
Lalu pertanyaannya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia?
Yang pertama adalah kurangnya SDM di bidang syariah. Bahkan, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Siti Chalimah Fadrijah sempat menyebutkan, salah satu kunci tumbuh berkembangnya perbankan syariah adalah SDM. BI hingga kini terus berupaya mendorong peningkatan SDM agar industri perbankan syariah dapat berkembang lebih pesat. Lebih lanjut, Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D Hadad mengatakan, saat ini bankir di perbankan syariah mencapai sekitar 15.000 bankir. Namun, kebutuhan saat ini mencapai lebih dari 20.000 bankir.
Yang kedua adalah kurangnya komitmen SDM di perbankan syariah sendiri untuk turut serta memajukan ekonomi Islam khususnya perbankan syariah. Contoh riil nya adalah berapa banyak dalam satu kelas mata kuliah perbankan syariah mahasiswa yang menjadi nasabah/memiliki rekening di bank syariah. Bahkan konon menurut kesaksian salah satu pejabat Bank Indonesia, ketika para petinggi Bank Indonesia direktorat syariah mendapat fasilitas soft loan untuk tunjangan keluarga (pendidikan, kesehatan dsb), mereka justru memilih soft loan dari bank konvensional, padahal mereka mempunyai pilihan untuk memilih pembiayaan dari bank syariah.
Yang ketiga, menurut anggota DPR RI dari Fraksi PKS Periode 2004-2009, Dr. Nursanita Nasution, ME, yaitu kurangnya pemahaman anggota DPR seputar ekonomi syariah, sehingga membuat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah berjalan lamban. Pembahasan sering kali terjebak pada istilah-istilah perbankan syariah dan melupakan substansi persoalan yang sifatnya lebih mendasar. ”RUU Perbankan Syariah sudah mulai dibahas sejak tahun 2005 dan sampai sekarang belum selesai. Sebenarnya tidak ada pertentangan ideologi dalam menyelesaikan peraturan tersebut. Kelambanan lebih disebabkan ketidakpahaman anggota DPR tentang konsep ekonomi Islam. Akibatnya, pembahasan selalu diwarnai perdebatan yang tidak esensial”(http://nursanitanasution.blogspot.com/). Terlebih dana dari Timur Tengah sedang membanjiri pasar modal negara-negara Asia maupun Amerika. Jika kita memiliki undang-undang yang mampu mengakomodasi kepentingan investor Timur-Tengah, tentunya negara kita sendiri yang akan diuntungkan. Apalagi mayoritas penduduk kita juga Muslim sehingga produk SBSN akan lebih mudah diterima.
Yang keempat, kurangnya sosialisasi mengenai produk-produk perbankan syariah. Seharusnya Bank Indonesia sebagai otoritas tertinggi perbankan di Indonesia melakukan sosialisasi atau edukasi mengenai apa itu bank syariah dan produk-produknya, agar masyarakat tidak terjebak pada pemikiran bahwa perbankan syariah dan konvensional itu sama saja, hanya berbeda sistemnya, atau bahwa bank syariah hanya untuk orang Islam saja. Satu hal yang cukup menarik yaitu bahwa dana sosialisasi produk-produk bank syariah ternyata lebih kecil jika dibandingkan dengan dana sosialisasi untuk iklan pengenalan uang baru/iklan sosialisasi perbedaan uang asli dan palsu.
Lalu hambatan yang selanjttnya adalah masih adanya sistem perundangan yang kurang berpihak pada nasabah syariah. Contohnya adalah pengenaan pajak berganda dalam transaksi akad murabahah (jual-beli). Ketentuan PPN atas murabahah menjadi polemik karena dalam PBI No. 6/17/2004, produk ini merupakan pembiayaan perbankan berprinsip jual beli yang berada di negative list (tak kena pajak). Namun, dalam praktiknya petugas Ditjen Pajak tetap menagih PPN dengan mengacu SK Ditjen Pajak No. 243 dan No.271 tanggal 4 September 2003, yang menetapkan murabahah menjadi produk kena pajak. Pasalnya, ketentuan penghapusan itu belum disahkan karena masuk dalam paket RUU.
Memang, perkembangan perbankan syariah tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, namun kita khususnya sebagai orang Muslim, yang menjadi mayoritas warga negara Indonesia, sudah sepatutnya melaksanakan ajaran Islam secara kaffah atau secara menyeluruh, yaitu menjadikan ajaran sebagai the way of life, sebagai jalan hidup, baik dalam beribadah maupun dalam bermuamalah seperti dalam hidup bermasyarakat, berdagang (melakukan kegiatan ekonomi), dan sebagainya, sehingga apa yang kita dengar selama lima kali dalam satu hari melalui menara masjid dapat kita capai, yaitu ajakan untuk mencapai falah (kesejahteraan umat) yang berbunyi hayya alal falaah.


Daftar Pustaka
2006. Hendra Kurniawan. http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/01/04/tantangan-bank-syariah-di-indonesia-kini-48215.html

No comments:

Post a Comment